Kamis, 28 Mei 2009

Tekanan Kredit Bermasalah Naikkan Risiko Sistemik Bank


KREDIT bermasalah (non-performing loans/NPL) masih akan menjadi momok perbankan. Setidaknya demikian menurut kajian Biro Riset Infobank. Menurut data biro riset ini, permodalan perbankan nasional kembali berada dalam risiko cukup tinggi akibat tekanan NPL. Tekanan NPL yang tinggi ini berpotensi meningkatkan risiko sistemik perbankan.
HAL ini karena posisi rasio NPL terhadap modal perbankan masih relatif tinggi sehingga posisi rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) pun juga cukup sensitif terhadap perubahan NPL. Tekanan NPL ini terutama akibat memburuknya kredit bermasalah karena konsentrasi kredit pada 25 debitor terbesar yang berada pada sektor tertentu yang berisiko. Secara umum, meski dinilai membaik, kinerja perbankan dinilai juga masih rawan karena perolehan laba besar yang tidak sustainable (berkesinambungan).
Kajian Biro Riset InfoBank yang tertuang dalam "Rating 134 Bank versi InfoBank" dan disusun berdasarkan laporan keuangan dua tahun terakhir itu menunjukkan, kendati NPL perbankan secara persentase mengalami penurunan, ada tendensi untuk meningkat selama tahun 2004.
Indikasi peningkatan itu, menurut Direktur Biro Riset Infobank Eko B Supriyanto, tercermin dari membesarnya posisi NPL bank-bank pemerintah dan memburuknya aset kredit yang bersumber dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Di samping itu, adanya keyakinan perbankan sendiri terhadap kualitas kredit yang tercermin dari besarnya pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP).
Faktor pendorong kenaikan NPL diperkirakan berasal dari kredit eks-BPPN yang direstrukturisasi karena akan berakhirnya perlakuan penggolongan kredit lancar bagi kredit-kredit eks-BPPN.
Rasio NPL terhadap modal perbankan masih berada pada angka 36,4 persen, atau naik tipis dibandingkan pada posisi akhir tahun 2002 yang masih sekitar 35,7 persen. Angka 36,4 persen itu diperoleh dengan membandingkan posisi NPL yang sebesar Rp 38,5 triliun dengan modal perbankan yang mencapai Rp 105,9 triliun.
Menurut Eko, masih ada 17 bank yang mempunyai rasio modal dan NPL yang rawan terhadap perubahan NPL. Kendati tidak ada ukuran baku, besarnya rasio NPL terhadap modal dinilai cukup tinggi sehingga mempunyai risiko sistemik terhadap modal perbankan.
Untuk itu, setiap perubahan NPL akan membawa tekanan terhadap modal secara langsung. Posisi CAR bank sendiri bisa merosot secara sistematis.
Data itu juga menyebutkan bahwa bank-bank melakukan pembentukan PPAP relatif cukup besar, yaitu sebesar 118 persen sampai 130 persen dalam kurun satu tahun terakhir ini.
Tingginya PPAP ini dapat diartikan sebagai bentuk ketidakpercayaan perbankan terhadap masa depan ekonomi, dan tentunya juga kredit yang disalurkan.
Hal itu bisa dilihat dari data yang sama yang diolah Bank Indonesia, yang menunjukkan masih relatif tingginya NPL. Untuk kredit investasi, NPL mencapai 10,9 persen, modal kerja 6,7 persen, dan kredit konsumsi 2,7 persen. Itu artinya, NPL kredit investasi sudah berada di atas NPL rata-rata yang mencapai 8,1 persen. Atau, dengan kata lain, roda perekonomian belum bergerak secara sustainable.
Sementara dilihat dari porsi NPL, kredit modal kerja mengalami kemacetan yang paling besar dengan porsi 54,0 persen, kredit konsumsi 23,8 persen, dan kredit investasi 22,2 persen. Meski demikian, kendati kredit konsumsi mempunyai NPL terendah, NPL ini perlu diwaspadai karena mempunyai tendensi yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Bank-bank yang mempunyai NPL di atas lima persen, jumlahnya masih 38 bank. Kelompok bank swasta dan campuran merupakan bank yang paling banyak mengalami tekanan NPL, yakni di atas lima persen.
Jika besarnya NPL itu dikaitkan dengan kondisi CAR, taruhlah saja dengan ukuran CAR 12 persen, maka terdapat tujuh bank yang kondisinya cukup rawan dan 11 bank yang sulit melakukan ekspansi. Artinya, bank-bank tersebut mempunyai CAR yang relatif mepet dengan kondisi NPL yang besar.
Jika bank bersangkutan terus melakukan ekspansi kredit, bukan tak mungkin bank bersangkutan akan lebih mudah mengalami penurunan CAR jika kualitas kreditnya memburuk.
Kondisi tersebut menjadi sangat rawan karena permodalan bank belum sepenuhnya memperhitungkan seluruh risiko. Perhitungan CAR saat ini baru memasukkan risiko kredit dan belum memperhitungkan risiko pasar dan operasional. Jika memperhitungkan risiko pasar dan risiko operasional, diperkirakan CAR akan mengalami penurunan sekitar 1,5 persen sampai dua persen.
Bank-bank besar mempunyai risiko operasional yang juga lebih besar, terutama yang bersumber dari kesalahan manusia (human error) dan lemahnya kontrol internal yang mengarah ke fraud. Kejahatan perbankan seperti ini akan langsung menurunkan kinerja bank.
Laba perbankan dari PPAP
Tahun 2003 merupakan tahun yang paling penting dalam perolehan laba perbankan. Pada tahun 2003 perbankan mencetak laba sebesar Rp 20,26 triliun, atau mengalami kenaikan 14,14 persen dibandingkan pada tahun sebelumnya.
Besarnya laba perbankan ini merupakan prestasi tertinggi dalam perolehan laba sepanjang sejarah perbankan. Meskipun demikian, tingginya perolehan laba itu belum mampu menutup seluruh kerugian yang pernah diderita perbankan pada tahun 1998, yang mencapai Rp 238 triliun.
Besarnya laba perbankan ini dipengaruhi oleh tiga hal. Pertama, adanya pengembalian PPAP yang relatif besar sehingga perolehan laba juga besar. Pengembalian PPAP ke buku bank terutama bersumber dari restrukturisasi kredit dan penjualan NPL.
Kedua, struktur aset perbankan yang lemah telah berakibat pada tingginya marjin akibat lebarnya spread simpanan. Pendeknya, rendahnya suku bunga simpanan tidak diiringi oleh penurunan suku bunga kredit dan penurunan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) diantisipasi secara berlebihan dalam bentuk penurunan suku bunga simpanan.
Sebanyak 20 bank terbesar masih menggantungkan hidupnya dari SBI dan obligasi pemerintah dengan porsi pendapatan bunga mencapai angka 53 persen, dan untuk seluruh industri masih berkisar 45 persen dari seluruh pendapatan bunga bank.
Ketiga, perolehan pendapatan nonbunga (non-interest income) yang besar dan bersumber dari aktivitas perdagangan yang sifatnya spekulasi, seperti mata uang dan obligasi. Sementara pendapatan yang bersumber dari bunga (fee based income) sendiri hanya berkisar sepertiga dari non-interest income.
Ketiga sumber laba itu dinilai tidak sustainable dan bersifat jangka pendek. Apalagi, struktur biaya operasional bank- bank cenderung meningkat.
"Bank-bank kan tidak mungkin setiap tahun membentuk PPAP dan menjual NPL secara besar-besaran, lalu dibukukan ke laba. Selain itu, marjin tidak akan bisa besar jika suku bunga SBI terus turun dan suku bunga penjaminan meningkat," ujar Eko, Selasa (25/5).
Membaik, tetapi rawan
Dari kajian terhadap 134 bank, juga terlihat kinerja keuangan perbankan mengalami peningkatan. Ada 83 bank yang berkinerja sangat bagus, 30 bank berkinerja bagus, 15 bank cukup bagus, dan delapan bank kinerjanya tidak bagus.
Kajian itu didasarkan pada sembilan rasio keuangan penting perbankan, yang meliputi rasio kecukupan modal (CAR), kredit bermasalah (NPL), pembentukan PPAP, keuntungan atas aset (return on average asset/ROA), keuntungan atas saham (return on average equity/ROE), rasio pertumbuhan kredit dan dana (loan to deposit ratio/LDR), net interest margin, dan rasio biaya operasional terhadap biaya operasional.
Kajian tersebut hanya didasarkan pada laporan keuangan bank selama dua tahun terakhir, dan tidak memasukkan unsur manajemen dan pelanggaran yang dilakukan oleh bank- bank. Tahun ini jumlah bank tinggal 136, dan dua bank tidak dimasukkan dalam penilaian karena tidak mengeluarkan laporan keuangan.
Pengelompokan peringkat ini di dasarkan pada konsep Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang bersumber pada besarnya modal. Untuk bank internasional tidak ada yang masuk. Bank nasional dengan modal Rp 10 triliun hingga Rp 50 triliun sebanyak tiga bank. Bank fokus dengan modal Rp 100 miliar hingga Rp 10 triliun sebanyak 80 bank, serta bank dengan kegiatan terbatas bermodal di bawah Rp 100 miliar sebanyak 53 bank.
Hasil pemeringkatan itu menyebutkan, untuk kelas bank nasional, hanya BCA yang mendapat predikat sangat bagus. Untuk kelompok bank dengan kegiatan usaha terfokus, yang masuk predikat sangat bagus antara lain BPD NTB, BPD Bali, dan Bank Mestika.
Untuk bank dengan kegiatan terbatas yang mendapat predikat sangat bagus meliputi antara lain Bank Kesejahteraan Ekonomi, Bank Artos Indonesia, dan Bank Utama Internasional.
Jika berdasarkan aset perbankan, klasifikasi di bagi tiga, yaitu untuk bank beraset di atas Rp 20 triliun, tiga besar yang berkinerja sangat bagus adalah Bank BRI, Bank Niaga, dan BCA.
Sementara untuk kelompok aset antara Rp 1 triliun dan Rp 20 triliun, tiga besar yang berkinerja sangat bagus adalah BPD Bali, Bank Mestika, dan Bank Chinatrust Indonesia. Kelompok bank beraset di bawah Rp 1 triliun antara lain Bank NTB, Bank Kesejahteraan Ekonomi, dan Bank Artos.
Untuk jajaran bank-bank go public yang kini jumlahnya mencapai 26 bank, tiga besar yang berkinerja sangat bagus adalah Bank Swadesi, Bank Bumiputera, dan Bank Eksekutif. Bank-bank ini merupakan bank kelas menengah kecil yang go public di pasar saham Indonesia.
Sementara delapan bank kinerjanya tergolong tidak bagus, karena tidak mampu mencetak laba, memiliki NPL di atas lima persen, dan LDR atau kemampuan memberikan kredit tidak sejalan dengan pertumbuhan dana. Selain itu, pengelolaan asetnya juga tidak efisien. Sebagian besar bank, menurut kajian itu, mempunyai tingkat efisiensi yang rendah dan boros karena buruknya proses kerja, organisasi yang tidak efisien, dan aktivitas yang tidak produktif. (anv/tat)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar